Kamis, 03 Juni 2010

Kerjasama Internasional (MLA&Ekstradisi)

KERJASAMA INTERNASIONAL

DALAM MASALAH PIDANA

(INTERNATIONAL COOPERATION IN CRIMINAL MATTERS)


Kejahatan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Perkembangan kejahatan dapat dilihat dari modus operandi, pelaku dan akibat yang ditimbulkannya, kejahatan yang tadinya bersifat konvensional berubah lebih modern dan menggunakan alat-alat canggih, pelaku kejahatan perorangan berubah menjadi kelompok/sindikat dan terorganisir serta mempunyai jaringan antarnegara. Pada masa sekarang ini, tidak ada satu negara pun yang dapat menutup diri dari perkembangan akibat pengaruh globalisasi, derasnya arus informasi, dan kemajuan teknologi yang pesat. Efek negatif dari perkembangan tersebut adalah semakin cepatnya manusia melakukan hubungan dengan manusia lain sehingga batas-batas wilayah antar negara sangat kabur dan mekanisme pengawasan antar negara semakin sulit.

Resolusi Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 2000 (Nomor 55/2) tentang Deklarasi Milenium PBB telah menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap pembangunan sosial ekonomi harus mengedepankan kerjasama antar bangsa (…responsibility for managing worldwide economic and social development, as well as threats to international peace and security, must be shared among the nations of the world and should be exercised multilaterally. As the most universal and most representative organization in the world, the United Nations must play the central role). Selain itu dalam Resolusi PBB Nomor 55/2 tersebut telah menegaskan akan perlunya memperkuat kaidah hukum internasional untuk mendukung kepentingan nasional (…to strengthen respect for the rule of law in international as in national affairs and, in particular, to ensure compliance by Member States with the decisions of the International Court of Justice, in compliance with the Charter of the United Nations, in cases to which they are parties) dan mengintensifkan upaya bersama untuk memerangi kejahatan lintas negara dalam segala aspek dan dimensinya (…to intensify our efforts to fight transnational crime in all its dimensions, including trafficking as well as smuggling in human beings and money laundering).

Kejahatan terorganisir lintas negara atau transnational organized crime, adalah suatu bentuk ancaman yang dalam era globalisasi ini semakin meningkat dengan beragam modus operandi. Kejahatan yang bersifat lintas batas negara ini telah tersebar hampir keseluruh negara, termasuk Indonesia. Seperti halnya negara-negara lain, Indonesia memberikan perhatian besar terhadap kejahatan lintas negara yang terorganisir ini. Sikap ini ditunjukkan dengan keikutsertaan delegasi Republik Indonesia dalam berbagai perundingan guna merumuskan rancangan konvensi PBB mengenai penanggulangan kejahatan tersebut. Bahkan pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, mewakili Pemerintah Republik Indonesia, telah ikut menandatangani Konvensi PBB mengenai Penanggulangan Kejahatan Terorganisir Lintas Negara/ Transnational Organized Crime (selanjutnya disebut Konvensi TOC) dengan termasuk 2 (dua) buah Protokolnya.

Keberadaan Convention Against Transnational Organized Crime (TOC) dalam hukum pidana internasional memberikan pengaruh terhadap yurisdiksi nasional yang bersifat ekstrateritorial. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention Against Transnational Organized Crime (TOC) tersebut pada bulan Desember 2002, dan telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Convention Against Transnational Organized Crime), diantaranya dikenal 2 mekanisme kerjasama yang diakui yaitu ekstradisi dan bantuan timbal balik/Mutual Legal Assistance (MLA).

Kerjasama dalam bidang ekstradisi dan MLA secara umum telah memiliki Undang-Undang yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130).

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/MLA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607).

Selain dasar hukum peraturan perundang-undangan diatas, dapat menjadi dasar kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain dalam bidang ekstradisi dan MLA adalah perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia secara bilateral maupun multilateral dengan negara lain. Perjanjian yang telah ditandandatangani Pemerintah Republik Indonesia tersebut adalah:

Perjanjian Ekstradisi

1. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Malaysia, ditandatangani di Jakarta 7 Januari 1974, telah diratifikasi dengan UU Nomor 9 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3044);

2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Philippina, ditandatangani di Jakarta 10 Pebruari 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1976 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3087);

3. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, ditandatangani di Bangkok 29 Juni 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1978 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3117);

4. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 22 April 1992, telah diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3565);

5. Perjanjian Bilateral dengan HongKong SAR, ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997, telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2001;

6. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea, ditandatangani di Jakarta tanggal 28 Nopember 2000, telah diratifikasi dengan UU Nomor 42 Tahun 2007;

7. Perjanjian Bilateral dengan Singapura, ditandatangani di Bali, Indonesia tanggal 27 April 2007, belum diratifikasi.

Perjanjian MLA

1. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3807);

2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Rakyat China, ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4621);

3. Perjanjian Multilateral dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Philipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam, ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 Nopember 2004, telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008;

4. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea, ditandatangani di Seoul tanggal 30 Maret 2002, belum diratifikasi;

5. Perjanjian Bilateral dengan HongKong SAR, ditandatangani di HongKong pada tanggal 3 April 2008, belum diratifikasi.

Dasar pelaksanaan kerjasama ekstradisi dan MLA didasarkan 3 (tiga) hal yang saling terkait satu sama lain, yaitu: ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antarnegara yang dibuat, dan konvensi dan kebiasaan internasional. Kerjasama ekstradisi dan MLA dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik.

Dalam mekanisme ekstradisi dan MLA, suatu negara akan menunjuk suatu lembaga yang atas nama pemerintah negara yang bersangkutan, berwenang menerima atau mengajukan permintaan resmi ekstradisi dan Mutual Legal Assistance dan bertanggung jawab atas proses Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance.

Dasar hukum dalam penunjukan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Hukum untuk kerjasama ekstradisi telah ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 1979 dan kerjasama MLA telah ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2006 serta juga dalam perjanjian-perjanjian.



1 komentar:

  1. jadi harus ada suatu badan koordinasi yang kuat dalam mengkoordinir permintaan MLA dan ekstradisi

    BalasHapus